Thursday, April 18, 2013

Musim Dingin di Istanbul

Perjalanan yang belum sempat juga saya tulis adalah perjalanan ke Istanbul, 7-13 Desember 2012. Perjalanan yang saya kategorikan iseng. Iseng memesan tiket promo QR, iseng menghubungi Dedes - yang tinggal di Jerman - buat ketemuan di sana, iseng karena pengin tahu seperti apa Istanbul yang katanya salah satu kota tercantik di dunia - dan pastinya enggak akan susah juga hidup di sana karena makanan halal bertebaran - dan juga iseng pengin traveling di musim dingin. Sok banget, ya?
Makin iseng karena saya hanya jalan-jalan di Istanbul - btw, enggak ada dana juga, sih mau ke kota-kota lainnya di Turki hihihi - dan cuma seminggu. Yep, begitulah. Di sana pun saya enggak serius mengeksplorasi Istanbul. Saya terbang ke sana karena "khilaf" beli tiket promo - yang kalau enggak dipakai akan hangus dan melayanglah 700 dolaran - dan hanya untuk relaks. Saya enggak ngoyo harus ke sana, harus kemari. Harus lihat ini, harus lihat itu. Hidup saya sekitar seminggu di Istanbul enggak jauh-jauh dari daratan Eropa - oh ya, Istanbul ini kota unik yang berdiri di dua benua, Eropa dan Asia. Ke kawasan Asianya? Ah, cuma numpang makan kumpir atau kentang bakar yang super dengan topping enggak kalah super.
Kumpir, porsinya gilak!
Hasilnya, saya toh menikmati seminggu di Istanbul. Sebenarnya, mungkin inilah perjalanan terbaik saya. Atmosfernya dan penduduknya yang hangat mendukung sesi relaksasi saya. Plus enggak pakai cerita dikejar-kejar jadwal kereta atau kebingungan mencari letak terminal bus kikikik. Nah, berikut inilah hal-hal yang berkesan bagi saya selama liburan singkat di Istanbul.
- Jalan-jalan di Taman Gulhane di bawah rintik hujan - eh, lebih dari sekadar rintik ding. Enggak pakai payung, mengingat taman ini dinaungi pepohonan meski daunnya berguguran mengingat musim dingin, tapi saya enggak terganggu dan enggak keberatan. Kapan lagi saya bisa berhujan-hujan tanpa mengomel karena harus melalui jalan-jalan tergenang dengan sepatu dan kaki berlepotan? Yay!!! (Catatan: Tetep sih harus pakai baju lima lapis....)
Gulhane Park, my favorite part.
-Suasana musim dingin. Seperti yang saya bilang di atas, ini kali pertama saya tahu rasanya musim dingin, meski tanpa salju - dan begitu saja sudah brrrrrr, saudara-saudara. Alhamdulillah kalau bentuknya salju saja, sih sudah lihat di atas pegunungan Alpen di Liechtenstein dan Swiss (sombong). Makanya saya enggak bosan-bosan datang ke Gulhane Park, karena di dalamnya juga Istana Topkapi yang letaknya bersebelahan, saya bisa melahap puas pemandangan dedaunan berguguran dan pepohonan putih "telanjang". Pemandangan yang kental nuansa musim dinginnya, ditambah saya memang suka menginjak dedaunan yang berserakan di jalan dan mendengarkan suara gemeresik yang dihasilkan... sepatu bot baru saya hahaha.
- Baklava. Hahaha, baklava alias kue-kue manis khas Turki adalah santapan sehari-hari saya di Istanbul. Bahkan kadang sebagai pengganti makan malam - 2-3 potong baklava sudah cukup buat saya. Sebenarnya manisnya itu bikin ngeri, manis banget... tapi sekali lagi, kapan lagi saya makan baklava enak? Menurut Nuref, cewek Istanbul yang saya kenal via CouchSurfing, baklava terenak ada di Karakoy. Dia sempat mengajak saya membeli beberapa potong, setelah sarapan dengannya di sebuah kafe di Karakoy. Saya sendiri sukanya beli di sebuah toko di dalam pasar Spice Bazaar, di Eminonu, terus makannya di depan pasar sambil melihat orang juga feri di pelabuhan Eminonu berlalu lalang. Cuma kalau pas angin berembus, dapet salam dari menggigil kedinginan. Oh ya, Eminonu dan Karakoy ini letaknya cuma berseberangan, dijembatani Galata Bridge.
- Galata Bridge/Jembatan Galata. Hobi saya juga bolak-balik menyeberangi Galata Bridge. Termasuk di kala hujan! Kan saya sudah bilang, saya hanya ingin relaks di Istanbul. Saya menikmati pemandangan orang-orang memancing dari atas Galata ke arah Selat Bosphorus, juga feri yang hilir mudik melayani pelayaran dari Istanbul kawasan Eropa ke Asia. Tapi keren juga, sih rasanya menyadari sedang berdiri di atas Selat Bosphorus yang membelah Eropa dan Asia, hahaha. Kapan pun saya menyusurinya, Galata Bridge tak pernah sepi pemancing. Memancing saat cuaca terang, saat hujan mengguyur, dan bahkan jelang sunset disusul azan magrib berkumandang. I've seen them all :).
Sunset di Galata Bridge, you have no idea!
- Duduk-duduk di depan Hagia Sophia. Hagia Sophia adalah atraksi utama di Istanbul - bicara soal prioritas. Selama 9 abad berfungsi sebagai Gereja Ortodoks Timur, pada 1453 diambil alih Kekaisaran Ottoman dan difungsikan sebagai masjid (nyontek Wikipedia nyong), lalu mulai 1935 sebagaimana kita kenal sekarang, dialihkan fungsinya lagi, menjadi museum. Museum Hagia Sophia jelas menaungi kekayaan budaya Kristen dan Islam. Tapi bukan isi Hagia Sophia persisnya yang jadi magnet buat saya, melainkan penampakan luarnya: bangunan merah bata yang megah dan magic! Setiap pagi dan malam, karena menginap di kawasan Sultanahmet, saya pasti melewati Hagia Sophia yang berdiri berhadapan dengan Blue Mosque atau Masjid Biru atau Sultanahmet Camii. Dan entah kenapa, setiap malam kembali ke Sultanahmet, saya pasti membelokkan kaki ke arah kiri, ke Hagia Sophia, pasti. Tetep, ketika hujan turun sekalipun. Tidak ada bosannya saya memandangi Hagia Sophia sambil duduk di kursi taman di depannya, sambil juga menikmati air mancur dengan cahaya berwarna-warni. Sayang saya baru tahu di malam terakhir bahwa gerobak-gerobak minuman yang mangkal di beberapa sudut Hagia Sophia adalah gerobak minuman khas Turki sahlep/salep, susu dengan rasa lavender, bukan gerobak kopi biasa (manyun).
- Waking up in Istanbul. As amazing as waking up in Paris! Di Istanbul, setiap jam 6 pagi pasti saya terbangun dan sukar memejamkan mata lagi, sekalipun baru berniat turun dari kamar jam 9 atau 10, misalnya. Dan kemudian saya membatin, beruntungnya saya terbangun di Istanbul! Saya menginap di dua hotel (lebih mirip guesthouse), Angel's Home dan Antique House. Di hotel yang pertama, pemandangan kamar saya dan Dedes menakjubkan. Minaret Blue Mosque! Di hotel yang kedua, di mana saya menginap 4 malam sendirian - Dedes sudah pulang ke Jerman - keramahan pemiliknya, Mustafa dan saudaranya yang sulit saya eja namanya, yang menakjubkan. Selain tersenyum menyadari masih berada di Istanbul, ada satu hal favorit lagi ketika terbangun di Istanbul. Bergelung di balik selimut while reading your messages. You know who you are :).
Panorama dari jendela kamar Angel's Home.

Sunday, August 5, 2012

Angélica Rivera, First Lady Meksiko

Sebenarnya saya enggak norak ketemu artis telenovela, sungguh, deh. Mau seganteng Fernando Colunga, sekarismatik Miguel de León, seramah Juan Pablo Gamboa, sekian. Yang ada 9 tahun silam, ketika salah satu jadwal saya adalah menemui Angélica Rivera, saya mau pingsan. Dalam sehari, bisa 10 artis saya temui dalam kurun 12 jam! Sudah begitu, kalau artisnya menuntut macam-macam, kayak pemilik inisial L, pingsan beneran dah.
Eh, tapi sekarang saya bangga pernah bertemu Angélica Rivera. Nah, barulah ini sisi norak saya memancar (halah, siaran televisi kaleee). Gara-gara Angélica pada 1 Desember mendatang akan resmi jadi First Lady Meksiko, ehehe, seiring keberhasilan suaminya, Enrique Peña Nieto, menjadi Presiden Meksiko berikutnya melalui pemilihan presiden 1 Juli lalu.
Angélica sosok yang menyenangkan untuk dikenal. (Ada yang bilang karena dia artis, butuh wartawan. Oke.) Saat ditemui di Televisa San Angel, Mexico City, pada suatu hari di April 2003, dia seramah dan semanis penampilannya. Mengingat telenovela-telenovela suksesnya, seperti La Dueña (1995) dan Angela (1998), wajar dia punya pengaruh di Televisa. Sementara kebanyakan artis telenovela saya wawancarai di lorong studio, di kamar ganti - tak jauh-jauh dari lokasi syutinglah - atau bahkan di luar studio, Angélica dengan mudahnya membuka pintu salah satu ruang rapat Televisa yang elegan, dengan nuansa serbacokelat, dan meminta saya dan fotografer mengikutinya masuk untuk melangsungkan wawancara di sana. Mungkin dia waktu itu leluasa bergerak di Televisa juga karena pengaruh kekasihnya - kini mantan suaminya - yang produser andalan Televisa, José Alberto Castro. 
Angélica juga menjawab pertanyaan-pertanyaan saya tanpa sungkan. Misalnya ketika saya bertanya apakah dia akan mengizinkan dua putrinya, Sofía dan Fernanda - putri bungsunya, Regina, baru lahir 2 tahun setelah wawancara ini berlangsung - main telenovela juga. Apalagi ayah anak-anaknya juga produser telenovela - dia bercerai dari José Alberto Castro pada 2007. Waktu itu, dia menyatakan ketidaksetujuannya, walau dia sadar dengan latar belakang keluarganya - dia aktris; suaminya produser; kakak iparnya, Verónica Castro, aktris yang lebih besar lagi dengan telenovela Wild Rose; ditambah putra Verónica, Cristian Castro, penyanyi Latin kondang - anak-anaknya pasti mewarisi bakat seni.
"Saat ini tidak. Mereka masih terlalu kecil. Saya tak suka mereka ikut-ikut telenovela anak-anak, bekerja dari jam 7 pagi sampai jam 7 malam. Saya ingin mereka belajar, berbuat nakal, bermain. Saat sudah melampaui usia kanak-kanak, sudah merampungkan sekolah, lalu mau jadi penyanyi, aktris, boleh. Mereka datang dari keluarga seniman, pastilah mereka mewarisi sesuatu dari kami," katanya realistis. Dan dia serius dengan ucapannya. Sofia sejak umur 14 tahun terjun ke dunia telenovela, namun tetap bersekolah sebagaimana remaja lain.
Sebulan setelah kemenangan suaminya, Angélica belum tampil lagi. Dia malah menonaktifkan akun Facebooknya, yang dipakainya untuk mengampanyekan suaminya - tapi kalau versi page, sih masih eksis. Mungkin dia bersiap dengan citra serius sebagai Ibu Negara (sok tahu sok dekat). Apalagi cukup banyak warga negaranya yang tidak menyukainya - karena artis, karena menumpang kiprah suami - dan suaminya yang diduga korup dan membeli suara saat pemilu. Mungkin saja, sih... saya memang enggak tahu apa-apa soal itu. Yang saya tahu, saya pernah bertemu dengan Angélica. Sekian.

Angelica dan suami, dari page Facebook. Kalau pakai foto dari Meksiko 2003, takut fotografer saya menuntut royalti :p.

Thursday, July 19, 2012

Piknik di Versailles

Orang-orang mah ke Versailles - lengkapnya Château de Versailles atau Istana Versailles - untuk mengagumi keindahannya. Tapi saya malah datang untuk piknik hahaha.
Bagaimana enggak asyik piknik di sana. Juni 2006 itu cuaca cukup panas - eh tapi kenapa saya masih pakai sweter, ya hahaha. Pasti Versailles yang rindang jadi tempat yang enak untuk mengudap makan siang, sepertinya begitulah jalan pikiran teman saya, si Sandy itu. Jadilah saya, Sandy, dan putra sulungnya Lukas menuju Versailles siang tengah hari bolong itu. Sudah bagus saya menikmati acara piknik di Versailles. Tahun sebelumnya saya menolak pergi ke sana. Soalnya letaknya di luar Paris - 20 km dari Paris - dan begitu luasnya - konon istananya sendiri luasnya 67.000 meter persegi dan tamannya 800 hektar! - sehingga saya tidak mau waktu saya habis di sana. Versailles adalah istana mewah yang dibangun di masa kejayaan monarki absolut Prancis, tepatnya ketika Louis XIV yang terkenal dengan semboyan "L'Etat C'est Moi" (Negara adalah Aku) bertakhta. Begitu mewahnya sehingga sekeliling istananya berlapis emas, yang sudah mencolok dari bagian luarnya.
Maka, Sandy terheran-heran ketika setahun setelahnya saya minta diajak ke Versailles. Gara-garanya, teman-teman saya yang berkunjung ke Paris, semuanya sudah melihat Versailles. Risna dan Cordelia sudah, masa saya ketinggalan, hihihi. Ya sudah, karena tahun itu saya hanya berada di Paris 2 hari, acara ke Versailles dipersingkat saja menjadi acara makan siang di tamannya. Sebenarnya bisa, sih diperpanjang sedikit dengan melihat-lihat sebentar ke dalam istananya. Tapi karena harus bayar, yaaa, gimana yaaa....
Jejak kaki kami di Versailles. Kaki saya dalam slipper fuchsia  - properti by Mama Sandy.
Jangankan bayar tiket masuk ke dalam istana belasan euro. Tiket kereta keliling taman - dengan perhentian di 4 titik - yang waktu itu tarifnya 5 euro saja, saya dibayari Sandy, huhuhu. Nah, lokasi piknik itu ada di perhentian ketiga. Di mana terhampar semacam danau yang dihuni ikan dan bebek, serta bisa dimanfaatkan untuk mendayung santai. Ternyata Versailles tempat yang populer buat piknik. Waktu kami tiba di tengah hari bolong, sudah banyak orang menempati kapling berumput di pinggir danau, entah mengobrol, makan, atau membaca. Ada pula yang berpanas-panasan mendayung. Setelah mengambil tempat persis di tepi danau, Mama Sandy mengeluarkan masakan andalannya, quiche halal atau pai ala Prancis tanpa babi. Aseeek....
Lokasi piknik dengan danau di paling belakang.
Tidak sampai 1 jam kami duduk dibelai angin sepoi-sepoi, mengunyah quiche sambil berbagi remahannya dengan ikan-ikan di danau. Waktu terus berjalan, dan masih ada beberapa tempat yang ingin saya lihat lagi sebelum kembali ke Munich. Saya masih ingin sungkem kepada Menara Eiffel dan jalan-jalan sok kaya lagi di Champs-Elysées, mhihihi. 

Kisah-kasih dengan Bandara

Di bagian lain blog ini, saya pernah mengisahkan ribetnya berurusan dengan imigrasi Eropa. Ya, maklumlah, ya di formulir permohonan visa Schengen saja terteralah Indonesia sebagai salah satu negara yang diwaspadai, bersama dengan beberapa negara teluk. (Halah, padahal negara-negara teluk kaya-raya lho.) Jadi saya menghindari berurusan dengan bandara di Eropa kecuali PP Jakarta-(salah satu kota) Eropa. Ya iyalaaah... masa saya mesti berenang ke sana. 
Akan tetapi yang aneh-aneh bukan hanya ada di bandara Eropa saja. Di tempat lain termasuk di Jakarta juga aneh-aneh, kok. Berikut kisah-kasih saya dengan bandara.

Jakarta, April 2008
Saya dan dua rekan sekantor hendak meliput wisata Yogyakarta. Kantor memesankan tiket maskapai berinisial L untuk kami. Atas nama pengiritan, kami enggak boleh pesan maskapai domestik paling tepercaya, G. Sudah begitu pake acara digosipin di kantor: "Si Ika masa minta terbang pake G!" Yah dia orang belon tau, maskapai G mah biasa saja buat saya, favorit saya mah Qatar Airways chihihi.... Situ belum pernah merasakan naik QR, kan? (Sombong, padahal juga belum pernah naik SQ mhihihi.)
Dan berangkatlah kami menuju Soetta untuk penerbangan L pagi. Berhubung maskapai L ini suka delay, kami sudah siap jiwa dan raga kalau nanti terjadi delay. Tapi yang kami tidak siapkan secara jiwa dan raga - dan juga kami tidak ketahui - maskapai L ini punya saudara. Dan saudaranya itulah yang menerbangkan kami ke Yogyakarta pagi itu, bukan L sebagaimana tertera dan dijanjikan dalam tiket - yakni W! Oh, well.... Dari penampakan, L saja tidak meyakinkan, apalagi si W, huhuhu. Tapi berhubung kami orangnya pasrahan, ya sudah, naiklah kami ke kabin W. Setelah beberapa saat, mulailah si W take off. Sepanjang perjalanan, saya dan teman sebangku, Abeba, cuma bisa cengar-cengir. Soalnya si W ini pakai acara bunyi geradak-geruduk sepanjang jalan, yah ibarat pesawat kelas bajaj gitu dah. Lalu bertanyalah seorang bapak yang duduk di depan kami kepada seorang pramugari, apakah dia sering bertugas di W. Yang dijawab si pramugari dengan jutek. Yah sepertinya dia saja enggak rela bertugas untuk W, apalagi kami yang pegang tiket L tapi disuruh naik W, weee....

Jakarta, April 2009
Saya diundang Tourism Authority of Thailand (TAT) yang berkantor di Indonesia untuk meliput wisata Bangkok dan Pattaya. Nah, baru saja tiba di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, saya diadang petugas imigrasi.
Petugas (setelah beberapa kali mencoba scan paspor saya): Bu, tolong sampul paspornya dibuka.
Saya: (Mencoba membuka sampul dengan hati-hati. Karena, sampul paspor itu asalnya resmi dari Imigrasi Jakarta Selatan, berwarna hijau tua dan bergambar garuda.)
Petugas (membentak dengan jengkel): Buka saja susah banget, sih! Makanya paspor jangan pakai disampul-sampul segala!
Dia lantas merebut paspor dari tangan saya dan menyobek sampulnya dengan kasar.
Saya (membentak balik): Heh, Pak, rajin banget saya sampulin paspor! Itu sampulnya dari Imigrasi!
Petugas: (Mencoba scan kembali paspor saya tapi tetap tidak puas).
Nah, saat itulah seorang rekan saya, Fani, memandangi layar komputer si petugas. Dia melihat, di layar komputer nama saya tertera dengan warna merah. Dia mencolek saya, "Mungkin nama Mbak sama dengan entah siapa yang dicekal."
Si petugas lantas pindah ke kubikel imigrasi di sebelah kirinya, mencoba scan paspor saya melalui komputer rekannya. Eh, ternyata tak ada warna merah menodai nama saya. "Enggak ada apa-apa, kok," komentar rekannya. Dia pun terpaksa mengembalikan paspor saya yang sudah tidak bersampul lagi. Saya pun berlalu bersama Fani, karena sudah ditunggu staf TAT yang akan mendampingi kami selama di Thailand, Mas Indra. Dan baru hari ini saya berpikir-pikir kenapa si petugas imigrasi sebegitu galaknya. Apa karena nama saya mengandung kata "Nur", terus disangka Nunun Nurbaeti atau Wa Ode Nurhayati, ya? Hedeh.
Sekembali dari Thailand 5 hari kemudian, saya mengantre di gerbang kedatangan Bandara Soekarno-Hatta. Eh, rupanya petugas yang melayani saya adalah petugas yang juga menonton kejadian konyol di atas. Dia nyengir membaca paspor saya. "Oh, Mbak yang waktu itu mau dicekal, ya? Hehehe," celotehnya.

Doha, Juni 2010
Yang saya lakukan sangat tidak disarankan. Alkisah mungkin karena terkagum-kagum dengan interior Qatar Airways yang beda banget dengan kali pertama saya tumpangi 4 tahun sebelumnya - yang lebih luas dan jauh lebih nyaman - dalam perjalanan Jakarta-Doha saya hanya bisa tidur 2 jam. Alhasil begitu transit di Doha, saya terkantuk-kantuk. Berhubung masih sekitar 2 jam lebih sedikit lagi pesawat saya ke Munich, Jerman, akan berangkat, saya memutuskan tidur di kursi bandara.
Dengan santai saya menaruh travel bag di lantai untuk menyelonjorkan kaki - tanpa kepikiran akan ada yang mengambilnya - dan merebahkan kepala di kursi tunggu bandara. Saya pikir, tidur di bandara yang suasananya begitu meriah, pasti enggak akan nyenyak-nyenyak banget. Paling lama 1 jamlah mata saya terpejam. Dan yang terjadi, total 2 jam saya tertidur lelap! Begitu membuka mata, saya syok. Soalnya antrean penumpang menuju Munich sudah terbentuk panjang. Duh, untung enggak sampai ketinggalan pesawat. 

Incheon, Oktober 2011
Nah, dalam kisah yang satu ini, yang apes rekan saya. Saat itu saya dan 3 wartawan dari media berbeda diterbangkan ke Korea Selatan untuk liputan wisata di 4 kota. Nah, di loket imigrasi Bandara Incheon - bandara internasional Korsel, saya dan 2 rekan lain berurusan dengan petugasnya tak sampai 5 menit. Kami bertiga lantas heran, ke mana rekan satunya, si Baidowi? Terakhir kami melihatnya mengantre di imigrasi, dia berada di belakang saya.
Bandara Incheon tampak luar. Eh enggak penting, sih ya, hihihi.

Apa mungkin dia tidak melihat kami dan menunggu kami di lokasi pengambilan bagasi? Begitu bertemu pemandu wisata kami di luar bandara, baru kebingungan kami terjawab. Rupanya dia tersangkut di imigrasi, entah karena apa. Kami menduga-duga karena namanya. Setelah menunggu 1 jam, tampaklah sosok Bai, mengarah ke rombongan kami sembari diantar seorang petugas bandara berjas hitam. Seperti dugaan kami, Bai ditahan karena masalah nama. Ya, tahu sendirilah, ya, kadang-kadang ini terjadi di bandara luar. (Itu sebabnya saya masih ogah disuruh pergi ke negara satu itu tahun depan, sesuai jadwal wisuda adik saya.)
Eh, ternyata bukan karena masalah nama saja. Jadi melebar urusannya karena dia tertahan bersama segerombolan cewek Thailand yang dicurigai PSK. Sebagai satu-satunya laki-laki yang diinterogasi, dia sempat disangka sang germo, whahaha. Dia berusaha membuktikan, dia berada di Korea atas undangan, tapi undangannya tersimpan dalam kopernya yang masih teronggok di lokasi pengambilan bagasi. Untungnya, BB dalam genggaman sukses memperlihatkan undangannya dalam bentuk surat elektronik, berikut nomor telepon pemandu kami.
Sudah beres masalahnya? Belum. Soalnya foto diri Bai yang terdata di Imigrasi Korsel kurang jelas menampilkan wajahnya. Tapi pada akhirnya beres juga, mungkin karena pemandu kami melalui telepon memastikan kebenaran kata-katanya. Tetap saja, mana ada pengalaman diinterogasi yang enak.

Jakarta, November 2011
Nah, ini ulah adik saya. Alkisah 9 bulan sebelumnya, tertarik penawaran tiket murah, dia merancang liburan sekeluarga pada November. Nah, yang memesankan tiket via internet adalah istrinya, Erni. Erni menanyakan nama lengkap seluruh anggota keluarga, termasuk saya. Adik saya mungkin maksudnya mencandai istrinya, dengan sengaja menyebut nama belakang saya mirip nama seorang pedangdut. Tapi Erni enggak ngeh dan menganggapnya serius. 
Tibalah saatnya berlibur ke Bali pada November 2011. Petugas maskapai low budget itu tidak hanya mengecek tiket kami, tapi juga menyamakan data tiket dan KTP. Erni lantas mengumpulkan semua tiket dan KTP. Dan dia terkejut melihat nama saya di tiket dan KTP beda. Saya lebih terkejut lagi, kok bisa? Dia dan adik saya saling menyalahkan. Lha memang nama macam apa, sih yang tercantum di tiket saya? Hasilnya bukannya marah, saya malah tertawa geli. Sebab nama yang diributkan itu adalah "Ika Nurjanah"! Bhahaha... untungnya si petugas maskapai bisa memahami kekeliruan ini dan meloloskan saya untuk terbang.


Jeddah, April 2012
Saat kontrol bagasi - setelah melalui kontrol imigrasi dengan mahram ayah Wanda - tiba-tiba seorang portir bandara memindahkan koper saya dan dua rekan perjalanan umrah begitu saja ke sebuah troli. "Sama-sama, Indonesia, sama-sama," begitu kata si portir berkebangsaan Arab itu dalam bahasa Indonesia. (Sotoy. Siapa tahu berkebangsaan Qatar atau Oman wekekek.) Saya mulanya hanya bingung, berapa riyal yang harus saya rogoh untuk membayar jasa angkutnya. Tapi kebingungan itu berubah menjadi kekesalan ketika dia melarikan koper kami dengan kecepatan tinggi ke arah tumpukan koper rombongan umrah lain di luar bandara.
Karena saya juga bertanggung jawab atas rombongan umrah ini - kalau pas kebetulan inget hihihi - saya mengejarnya ke luar sambil berteriak-teriak dalam bahasa Inggris. Saya dicegat petugas yang meminta saya menunjukkan paspor. Untungnya petugas itu bisa mengerti, paspor saya dipegang tour leader. Saya berlari ke arah tumpukan koper dan berusaha menarik troli dari tangan si portir. Dia bersikeras mempertahankan troli itu dan menolak mendengarkan penjelasan saya - atau tidak mengerti, kali, ya. Alhasil saya sempat frustrasi, mana anggota rombongan lain berkumpul jauh dari posisi saya sehingga saya kepayahan memanggil mereka. Untungnya, kakak Wanda sempat menyaksikan adegan tidak penting ini, sehingga dia menghampiri dan memaksa menarik troli dari tangan si portir seraya berkata, "La, la." Alias "tidak" dalam bahasa Arab. Hadeh, mau beribadah, baru mendarat ada masalah. Alhamdulillah, setelahnya segalanya indah. (Really? Demi kemaslahatan umat, really :p.)

Wednesday, June 27, 2012

"Soundtrack of My Journey"

Duh, penting banget posting tulisan kayak begini. Ini gara-gara mengecek tangga lagu Italia dan mendapati lagu "Come Se Non Fosse Stato Mai Amore"-nya Laura Pausini dibawakan ulang oleh Marco Carta. Jadi ingat pada 5 Mei 2005, ketika saya terkapar di Roma, Italia. Mungkin karena terus kena udara dingin di Milan dan Roma, saya terserang flu dan memutuskan beristirahat saja seharian itu di apartemen yang ditinggali teman saya, Widya. Nah, sembari tidur-tiduran di ruang tamu, saya mengecek seluruh saluran TV. Saya menemukan MTV Italia yang antara lain menayangkan video klip Laura Pausini menyanyikan "Come Se Non Fosse Stato Mai Amore" - yang kemudian membuat saya memutuskan membeli album yang memuatnya, Resta in Ascolto, yang versi bahasa Spanyolnya mengantar Laura menyabet predikat Penyanyi Pop Wanita Terbaik Grammy Latin - dan entah kanal apa yang menyiarkan telenovela lawas Corazón Salvaje yang pada pertengahan 1990-an ngetop di Indonesia dengan judul Hati Yang Berduri, hahaha.
Eh, tapi soundtrack jalan-jalan saya tahun itu bukan "Come Se Non Fosse Stato Mai Amore". Melainkan "Dovevo Dirti Molte Cose". Lagu rock alternatif milik band Velvet, yang cukup eksis tapi sepertinya tidak sepopuler Marco Carta apalagi Laura Pausini. Lagu ini tentu saja saya kenal melalui MTV Italia. Maka esoknya saya langsung meminta Widya mengantar ke toko CD di Stasiun Termini, pusat stasiun metro di Roma. Di sana, yang saya lakukan tentu saja membeli album Velvet dan Laura. 
Saya suka "Dovevo Dirti Molte Cose", yang artinya "Aku Harus Mengatakan Banyak Hal Kepadamu" itu murni karena musiknya. Lha, memangnya saya harus mengatakan banyak hal kepada siapa dalam perjalanan itu? Aspetta. Mungkin kepada Valerio, agar tidak membiarkan saya tersasar berjam-jam di Milano, hikshiks. Berikut lagu-lagu yang terngiang-ngiang di kepala saya dalam sekian perjalanan.

Meksiko, tahun 2000
"I Wanna Be With You" (Mandy Moore)
Kok lagu berbahasa Inggris, bukannya Spanyol yang jadi bahasa ibu di Meksiko dan kawasan Amerika Latin umumnya? Lagu ini berdengung di mana-mana selama saya sebulan berada di Mexico City ketika itu. Di mobil, di pusat perbelanjaan. Lagi ngetop banget dah. Tapi bukan berarti saya ingin bersama seseorang waktu itu. Rombongan cowok yang bersama saya bikin saya ampun-ampunan (sungguh, ampuuun...), aktor telenovela pun menurut saya enggak ada yang menarik, hahaha, parah. Eh, Fernando Colunga dan Jaime Camil menarik, sih, tapi ya sudah, sekian. 

"A 1000 X Hora" (Lynda)
Baca: "A Mil Por Hora". Lagu soundtrack telenovela yang remaja yang tengah disukai saat itu, Primer Amor (A 1000 X Hora), yang dibintangi Kuno Becker - yang kemudian menjadi pemeran utama trilogi Goal! yang ikut melibatkan pesepak bola kenamaan seperti Raúl González, Zinedine Zidane, Iker Casillas, dan Fredrik Ljungberg. (Tunggu. Kalau tahun itu saya ketemu Kuno, saya bisa jadi bakal naksir berat dia, hahaha.) Refrein "A 1000 X Hora" yang mengentak, juga bagian awalnya, "Hay tantos pensamientos que habitan en mi cabeza (Ada banyak pikiran yang menempati kepalaku)," lengket banget di kepala. Jangan sedih jangan bimbang, cuma refrein "a mil... a mil por hora" dan awalan di atas lirik yang saya hafal, hahaha. Saya suka musiknya yang bersemangat. Makanya saya senang banget, sebelum kembali ke Indonesia, Televisa membekali saya album soundtrack telenovela Primer Amor. Meskipun sesungguhnya sampai hari ini saya juga enggak ngerti apa makna "A 1000 X Hora" yang adalah sebuah ungkapan itu, halah.


"Yo Te Amo" (Chayanne)
Kok jadi berderet, ya soundtrack perjalanan saya tahun ini? Lah siapa suruh saya dititipkan sebulan di Meksiko, hehehe. Tiga minggu di sana saya meraung-raung minta pulang, tapi kantor tidak memperbolehkan karena tugas belum selesai. Sudah begitu, masih kudu mengirim tulisan dari sana. Pas lagi mandi, pernah pintu kamar mandi digedor-gedor si Panji Gundul Pacul, "Tulisan lo ditagih sekarang!" Apes. Untungnya Pak Asa, salah satu petinggi KBRI yang ternyata adalah kakak seorang teman, Erich, memperbolehkan saya meminjam salah satu komputer di ruangannya. Yak, balik lagi, "Yo Te Amo" pada akhirnya populer di Indonesia pada 2003, karena menghiasi serial Mandarin yang dahsyat popularitasnya, Meteor Garden 2 - yang beberapa adegannya bertempat di Barcelona, Spanyol. Sebenarnya Chayanne bukan penyanyi asal Spanyol, melainkan Puerto Riko. Jadi kenapa MG2 tidak pakai lagu Alejandro Sanz atau Enrique Iglesias? Tapi "Yo Te Amo" yang artinya "Aku Cinta Kamu" itu (nah, ini lagi, waktu itu aku tidak mencintai siapa-siapa, aku hanya ingin pulaaaaaaanggg) terus hinggap di kepala - gara-gara MTV Latin tentunya. Sampai di Tanah Air, saya jadi kepikiran CD Chayanne dengan "Yo Te Amo" itu dan tertarik mengoleksinya. Untungnya 2 bulan kemudian seorang teman yang saya kenal di Mexico City, Mbak Ratna, pulkam. Jadilah saya menitip CD Simplemente-nya Chayanne.


Meksiko, 2003
"Mala Gente" (Juanes)
Di Mexico City cuma 10 hari dan jadwalnya padat parah - ditunggu di Televisa setiap pagi jam 9 atau 10, baru balik ke hotel jam 10-11 malam - waktu saya memantau MTV Latin sempit. Saya pun tidak memborong bertumpuk CD sebagaimana 3 tahun sebelumnya; yang saya beli cuma Un Día Normal-nya Juanes, Natalia Lafourcade (milik penyanyi bernama sama), dan album lamanya Shakira dan Enrique. Lagu yang nempel banget, apesnya, "Mala Gente"-nya Juanes. Lagu rock yang liriknya enggak banget deh, menyumpah-nyumpah. Eh, tapi saya pernah lho nyumpahin orang pakai refrein lagu ini, wekekek.


Eropa, 2005
"Dovevo Dirti Molte Cose" (Velvet)
No TV di rumah Mama Sandy, jadi no MTV di Paris. Pindah ke Roma, ketemu MTV Italia. Seperti saya tulis di atas, jadilah "Dovevo Dirti Molte Cose" soundtrack jalan-jalan saya di Eropa.

"Barcelona" (Russell Watson featuring Shaun Ryder)
Pero, por supuesto! Tentu saja. Lagu ini yang membuat saya datang jauh-jauh ke Barcelona. Jauh dari Prancis dan Italia, apalagi dari Indonesia. Tapi Barcelona mengejutkan saya. Saya terkejut, banyak banget orang lalu-lalang di Barcelona, sebagian besar turis. Sampai pusing saya dibuatnya. Saya juga terkejut, karena begitu menjauh dari lautan orang itu, saya baru menyadari betapa cantiknya Barcelona. Saya jadi teringat potongan percakapan saya dengan Vicki, wisatawan asal Amerika, di sebuah kafe.
Vicki: Bagaimana menurutmu tentang Barcelona? Baguskah?
Saya (yang pusing dengan keramaian di sana-sini): Menurutku, sih enggak. Barcelona kurang teratur.
Vicki: Oh, kalau menurutku, Barcelona justru sangat teratur. Lihat saja, kantor pariwisatanya sigap memberi segala informasi. (Dan itu adalah BENAR.)
Ya, dalam bus Eurolines yang membawa saya kembali ke Paris, barulah saya menghargai Barcelona. Barcelona yang luar biasa ramai itu tempat yang ramah bagi orang asing seperti saya. Penduduk yang suportif pada wisatawan yang tertarik pada kota mereka, Parc Güell yang cantik, Barri Gòtic yang antik, klub sepak bola yang fanatik, sayang saya tersesat saat mencari Montjuïc, Barcelona adalah tempat yang berkarakter, unik, dan hangat. Pantas orang mengabadikannya dalam lagu yang indah.



Eropa, 2006
"Abrazar La Vida" (Luis Fonsi)
Hasil dari perjalanan tahun lalu, saya getol mencari tahu lagu-lagu berbahasa Italia ditambah Spanyol yang asyik. Salah satu hasilnya memperkenalkan saya kepada penyanyi Puerto Riko bersuara empuk, Luis Fonsi. Karena tahun ini saya tidak mengarah ke Spanyol maupun Italia, saya mencari CD Fonsi, yang mana saja, di Paris. Tapi nihil. Karyawan toko CD sebenarnya menawarkan untuk memesankan dari tempat lain, tapi makan waktu 5 hari; sementara saya bertandang ke Paris 2 hari saja.




Thailand, 2009
"Indietro" (Tiziano Ferro)
No particular reason. Saat itu saya baru saja menerima CD Alla Mia Età-nya Tiziano Ferro dari teman saya di Belanda, Hari. Lalu lagi senang-senangnya mendengarkan salah satu lagu, "Indietro". Satu dari sedikit lagu romantisnya penyanyi favorit saya itu, jadi saya senang mendengarkannya berulang-ulang. Saya ingat banget selalu menyetel lagu ini sebelum tidur, terutama waktu bermalam di Pattaya - habis hotelnya agak creepy hehehe.




Eropa, 2010
"Estate" (Negramaro)
Belum resmi masuk musim panas ketika saya datang lagi. Bahkan meski hampir masuk musim panas, hujan terus mengguyur Eropa. Hujan di Milan, Paris, Munich, angin kencang di Eindhoven. Tapi hati saya tetap bernyanyi. Dan yang saya terus nyanyikan adalah "Estate" (baca: es-ta-te, bukan es-teit!) milik Negramaro, yang artinya "Musim Panas". Itu sesungguhnya lagu rilisan 2005, tapi baru saya kenal. Lagi pula mood-nya cocok dengan suasana yang saya rasakan saat itu: "E il segno di un'estate che vorrei potesse non finire mai." Kurang lebih artinya: "Itulah tandanya sebuah musim panas yang tak pernah ingin kuakhiri." Yah, itu artinya saya keasyikan berlibur. Saya mencari CD yang memuat lagu ini, Mentre Tutto Scorre, di Milan, tapi tidak menemukannya, hiks. Juga tidak menemukan CD-nya Zero Assoluto dan Tony Maiello.


Korea, 2011
Kagak pakai soundtrack! Pasalnya sebelum berangkat, saya bertukar ponsel dengan teman saya si Abeba. Ponsel saya tidak dilengkapi fasilitas 3G, sementara ponsel yang bisa berfungsi di jaringan Korea hanyalah yang 3G. Saya manyun membuka playlist di ponsel teman saya yang minus lagu Italia dan Spanyol. Dan si Abeba juga manyun membuka playlist di ponsel saya yang berisikan nyaris semuanya lagu-lagu Italia dan Spanyol, hahaha. 

Wednesday, June 13, 2012

Provins, Atmosfer Abad Pertengahan

Saya belum pernah benar-benar menulis tentang perjalanan ke Provins, ya? 
Kesempatan berplesir ke Provins datang tak terduga.
Pada hari terakhir April 2005, Sandy tiba-tiba mengejutkan saya dengan pertanyaan, “Mau enggak pergi ke Provins? Kebetulan teman gue, Sam, mau ke sana besok.”
Provins (baca: pro-vang, dengan r sedikit kumur-kumur). Nama yang belum pernah saya dengar. Oh, itu kota tua yang terjaga keaslian dan keasriannya, lokasinya di luar Paris. Naik mobil, kira-kira satu setengah jam mencapainya; naik kereta Transilien dari Paris Est/Gare de l’Est, dengan tiket Paris Visite zona 1-6, sama saja. Ya, Paris bukan hanya berlimpah objek wisata di dalam kotanya. Di dekatnya pun ada saja yang perlu dikunjungi, kalau tidak rugi jauh-jauh ke Paris. Selain Disneyland dan Versailles, ada Provins, cite médievale atau kota dari abad pertengahan, tepatnya dari abad ke-12 dan 13 yang peninggalannya terjaga. Sejak 2001, Provins diakui sebagai pusaka dunia oleh UNESCO.
Akhirnya, pada Minggu pagi, saya dan Ita, teman Sandy yang juga asal Indonesia, ikut Sam bermobil ke Provins. Belum lagi sampai di tujuan, sekali lagi saya dibuat takjub keindahan Prancis. Mobil melintasi pertanian penghasil moster (mustard), saus kuning penyedap rasa hot dog itu lho. Di kanan-kiri jalan bermekaran bunga-bunga moster. Perjalanan kami diiringi lautan bunga kuning! Satu pemandangan baru lagi, langsung membuat saya meminta Sam meminggirkan mobil sejenak untuk foto-foto, hahaha. Untung Sam mau.

***

Tibalah kami di Provins. Kota yang di masa jayanya terkenal dengan arena perdagangan yang melibatkan banyak pedagang hingga dari Italia. Masuk ke Provins, bak masuk ke dunia lain. Atmosfer abad pertengahan telah menyapa melalui gerbang bertinggi lebih 25 meter – yang terus memanjang menjadi benteng hingga 5 km – yang dulunya dibangun demi keamanan penduduk juga para pedagang yang berkumpul di Provins. Baru saja melewati gerbang, saya membatin, Provins is very cute! Rumah-rumah tua berbingkai kayu yang terawat, tidak lapuk dimakan zaman, pemandangan yang menyegarkan mata yang penat disuguhi pusat perbelanjaan mewah dengan objek-objek wisata artifisial.
Untuk mengunjungi Provins, dikenakan tiket masuk. Mengantongi tiket itu, bebas memasuki setiap objek wisata di dalamnya. Khusus untuk pertunjukan khas abad pertengahan - pertunjukan kesatria berkuda, atraksi rajawali, atraksi senjata para kesatria - ada tarif tambahan. Tour César, menara yang merapat ke benteng dan menjadi simbol Provins, pertama kami kunjungi. Fungsinya di masa lalu sebagai penjara, menara pengintai, dan tempat berlindung ketika perang berkobar. Beralih ke Grange aux Dîmes (Tithe Barn), bangunan yang di era perdagangan Provins adalah pasar. Kini sebagai objek wisata, bawah tanah Grange aux Dîmes menjadi lokasi eksebisi aktivitas perdagangan di abad ke-12 dan 13, terwakili antara lain melalui karakter pedagang Italia, pedagang wol, pembuat tembikar, dll.
Setelah melongok bagian dalam Gereja St Quiriace, juga dari abad ke-13, kami mengarah ke Place du Châtel, di mana terpancang Croix des Changes atau tugu bersalib yang dulunya lokasi pembacaan pengumuman penting. Kami menepi di sebuah restoran di seberangnya, melemaskan kaki seraya makan es krim. Setelahnya, Sam mengajak menonton pertunjukan Légende des Chevaliers (Legend of the Knights); tentang penyambutan kembalinya Pangeran Thibaud IV dari Perang Salib, yang diinterupsi teror musuh-musuhnya dalam upaya penaklukan Provins. Memang untuk menonton mesti keluar beberapa euro lagi, tapi tangguuung, besok-besok belum tentu ada yang mau mengajak ke Provins, hehehe.
Pertunjukan Légende des Chevaliers.

Bah, ternyata bahasa pengantar Légende des Chevaliers adalah bahasa Prancis! Ya iyalah, ini Prancis, kali. Jadi, ya beberapa kali saya nginyem karena kecolongan jalan cerita yang dialognya tak saya tangkap, hah. Tapi secara keseluruhan pertunjukan 45 menit itu cukup menghibur, dengan para pemain berkostum ala abad pertengahan dan beberapa leluconnya – yang untungnya, kadang-kadang, masih bisa saya cerna.
Oh ya, sebagai buah tangan, beli produk olahan mawar khas Provins, yang bernama Latin rosa gallica atau dalam bahasa Inggrisnya rose of Provins – mawar ini, katanya, asalnya juga berupa buah tangan Thibaud IV dari perjalanan Perang Salib. Ada sabun mawar, madu mawar, dan kalau berminat mencoba, ada juga es krim rasa mawar! Di Kebun Mawar Provins yang juga mengembangkan banyak varietas mawar lain, mawar Provins merekah berlimpah setiap Mei-Juni.
Keluar dari Provins, hari masih sore. Ya, beberapa jam saja cukuplah untuk menambah 1 kota lagi dalam riwayat perjalanan saya (hore!) dan menambah wawasan tentang abad pertengahan di Prancis. Abad pertengahan yang masih bernapas melalui bangunan, tugu, dan pertunjukannya.

Tuesday, June 12, 2012

Malaikat di Masjid Paris

Terjadi 7 tahun lalu. Saya masih mengingatnya dengan terang. 
Siang itu, tepat di pengujung April 2005, Sandy bertanya apakah saya ingin salat di Masjid Paris (Grande Mosquée de Paris). Sungguh perhatian Sandy. Beneran dia semua yang mengatur jadwal saya di Paris tahun 2005 itu. Saya mah tinggal ngikut….
Karena bukan pemeluk Islam, Sandy menunggu di kafe masjid. Masjid itu punya ruang yang terbuka untuk siapa saja, seperti kafe dan toko suvenir. Toko suvenirnya bahkan menjual suvenir agama lainnya. “Ini caranya merangkul umat agama lain,” bisik Sandy.
Saya sempat gentar masuk ke tempat salat perempuan. Pasalnya, sekumpulan perempuan di sudut ruangan, yang sedang mengaji, berjilbab atau setidaknya berkerudung. Seorang dari mereka, menyadari kecanggungan saya, mengisyaratkan kepada saya untuk masuk.
Selesai salat, saya membereskan mukena berbahan parasut yang gampang dikemas. Saat itulah seorang perempuan yang sepertinya berasal dari Afrika Utara menegur. Dalam bahasa Prancis perempuan bernama Hakima itu bertanya, di mana saya membeli perangkat alat salat yang habis saya pakai. Saya menjelaskan sebisa mungkin, tapi dia tidak tahu apa-apa tentang Indonesia. Bali? Tidak juga. Seorang perempuan berjilbab yang sedari tadi duduk di belakang kami rupanya diam-diam mengikuti percakapan kami. Dia ikut membantu menjelaskan.
Hakima tertarik pada mukena saya. Mulanya saya terpikir untuk membelikan mukena serupa, lalu mengirimkan ke alamatnya di Paris. Tapi, ya Tuhan, pantas Bali saja dia tidak tahu. Hakima meminta perempuan di belakang kami untuk menuliskan alamatnya. Perempuan itu dengan sabar mengabulkan permintaannya. Dia, yang juga fasih berbahasa Inggris, sabar mendampingi saya dan Hakima bernegosiasi, ketika saya berubah pikiran dan memutuskan memberikan saja mukena parasut itu kepada Hakima. Toh untuk salat, saya masih bisa pinjam sarung Sandy dan pakai kerudung.
Berkat jasa perempuan berjilbab itu, saya dan Hakima mencapai kesepakatan: dia terima mukena saya, dan sebagai balasan dia berikan eau de toilette-nya. Saya menolak 5 euro yang disodorkannya tapi tidak eau de toilette, untuk menghormatinya. Selesai bernegosiasi, saya mengucapkan terima kasih kepada perempuan yang membantu kami. Saya bahkan menawarkan mengiriminya mukena, tapi dia tidak pernah menjawabnya. Dia hanya tersenyum.
Saya perhatikan wajahnya yang sederhana, juga kuku-kuku tangannya yang tidak terawat. Walau sederhana, raut wajahnya halus sekali. Sehalus suaranya saat bicara. Belum pernah seumur-umur saya melihat wajah dewasa demikian halusnya. Dia permisi meninggalkan kami duluan. Tidak lama kemudian, giliran saya berpamitan kepada Hakima. Di luar, saya melihat perempuan itu menghentikan langkahnya dan tersenyum kepada saya, sebelum dia melewati gerbang masjid. Entah siapa perempuan itu, karena dia bukanlah teman mengaji Hakima.Mungkin dia iba melihat Hakima, mungkin dia memang ramah, mungkin juga hari itu saya bertemu dengan malaikat.

Sunday, May 6, 2012

Umrah: "Countless Blessings"

Alhamdulillah, pada 19-27 April 2012, saya diundang Allah untuk menunaikan ibadah umrah di Tanah Suci. Terus terang, saya berangkat tanpa persiapan memadai. Jangankan persiapan, bisa berangkat saja rasanya tidak percaya. Kenapa saya yang berangkat? Kenapa bukan yang lain? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepala saya, bahkan hingga hari ini. Sebab saya memang bukan berangkat atas inisiatif sendiri, melainkan diberangkatkan oleh kantor untuk sebuah tugas.
Akan tetapi, ya Allah, untuk saya yang tidak mengerti apa-apa, saya yang masih begitu banyak kekurangan ini, alhamdulillah, ada saja yang menuntun saya dalam beribadah. Ibu-ibu dalam rombongan saya, saya tak bisa cukup berterima kasih kepada mereka. Tanpa saya minta, mereka menerangkan ini-itu, tempat yang mustajab untuk berdoa, apa doa yang harus saya panjatkan, bahkan mendoakan saya segera berjilbab (amin). Dan sahabat saya Wanda, yang bersama saya bertugas dalam perjalanan umrah ini, saya tidak akan lupa malam sehabis salat magrib itu, ketika dia menarik saya ke Hijr Ismail dan memastikan saya tidak lepas dari genggamannya di tengah ribuan orang yang berkeliling Kabah.

Alhamdulillah perjalanan umrah kemarin saya kategorikan lancar, walau saya sempat terserang diare semalam - sepertinya ini gara-gara saya selama ini kebanyakan makan enak, hehehe. Masih ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab. Tetap, kenapa saya yang berangkat? Kenapa... ah, yang kenapa-kenapa berikutnya ini terlalu pribadi hihihi. Tapi sesungguhnya tidak perlu dipertanyakan. Saya berusaha saja berprasangka baik kepada Yang Mahakuasa, Yang Mahamemiliki. Pasti kenapa-kenapa itu memiliki alasan baik, yang akan saya ketahui kelak.

Friday, March 9, 2012

Taman Kenangan di Mexico City

Setiap ke luar negeri, baik liputan maupun jalan sendiri, bisa dibilang taman adalah destinasi wisata favorit saya. Semua bermula dari liputan ke Meksiko hampir 12 tahun silam. (Seriously??? Sudah selama itukah???) Kebetulan saya diinapkan - ya, soalnya bukan saya yang mengurus penginapannya, hehehe - di KBRI Meksiko yang letaknya di kawasan Polanco, tepatnya di Jalan Julio Verne. Tepatnya lagi di lantai teratas KBRI alias lantai 4, hehehe. Kebayang dah tiap hari selama sebulan turun-naik 4 lantai, karena KBRI tidak berfasilitaskan lift. Sudah begitu toilet di bawah, kamar mandi di luar. Eh tapi sekali waktu saya pernah nakal, atas seizin seorang staf KBRI juga, sih. Saya pernah menumpang mandi di kamar mandi khusus seorang pejabat KBRI asal NTT - saya lupa namanya. Tanpa sepengetahuan beliau pastinya, hahaha.
Nah, KBRI ini letaknya dekat dengan sebuah taman yang rapi. Taman yang bentuknya persegi panjang, dengan kolam di tengahnya dan pepohonan yang berjajar rapi di pinggirnya. Sebenarnya di taman ini juga ada pengasong, tapi jumlahnya tidak banyak. Saya beberapa kali membeli permen tic tac dari seorang nenek pengasong yang berjualan di bawah pohon. Kalau tidak ada liputan, entah siang atau sore, di El Parque Lincoln - nama taman itu, yang sebenar-benarnya baru saya ketahui kemarin, hahaha - saya berada. Biasanya saya cuma duduk memandangi orang yang lalu lalang sambil mengemut tic tac. Atau saya mampir dulu ke sebuah toko es krim di dekat taman, kemudian melakukan aktivitas yang sama. Eh, itu bisa disebut aktivitas, ya? Hahaha. Sekali waktu saya iseng mengelilingi taman. Tapi kapok soalnya kerap berpapasan dengan anjing-anjing yang dibawa para pemiliknya jalan-jalan. Duh, hari gini masih takut sama anjing aja yeee.... 
El Parque Lincoln masa kini, hasil jepretan Mbak Evi.
Nah, sejak era El Parque Lincoln itu, saya ngefans sama taman. Apalagi taman berbunga-bunga kayak Parc de Bercy di Paris atau taman yang luar biasa luasnya dan rindang kayak Englischer Garten di Munich.... Sayang saya belum sempat ke taman bunga musim semi Keukenhof di Belanda. 
Saya teringat pada El Parque Lincoln gara-gara kemarin melihat foto taman ini di halaman Facebook seorang teman yang tinggal di Mexico Distrito Federal (DF) alias Mexico City, Mbak Evi. Mbak Evi ini dosen bahasa Indonesia di Meksiko, dan betah banget tinggal di Mexico DF. Di Meksiko pada 2003 (udah lama juga yaaak) Mbak Evi juga mengajak saya dan Panji ke Sanborns, usai kami liputan di Televisa. Sanborns juga punya cerita tersendiri. Sanborns itu, apa ya, apa saja ada, deh di Sanborns. Dari buku sampai restoran. Dan di Sanborns inilah saya kali pertama mencicipi makanan Meksiko, diajak Norma si pemandu liputan saya di Televisa pada 2000. Waktu itu Norma memesankan menu enchiladas untuk kami, entah enchiladas apa tepatnya. Pokoknya itu adalah 3 gulung tortilla basah berisi ayam yang disiram kuah keju. Kelihatannya enak. Tapi apa yang terjadi pada perut Melayu? Satu gulung tortilla, sih masih terasa enak, tapi gulungan berikutnya, enek! Sejak itu pula Panji bersumpah tak akan menyentuh makanan Meksiko lagi, hahaha. Eh kecuali caldo de mariscos alias sup makanan laut deng, yang lucunya di kawasan Polanco dijual di warung tenda, hahaha. 

Thursday, October 27, 2011

Warna-warni Korea di Musim Gugur

(sebenarnya ini ditulis 21 Oktober di Hotel Core Riviera, Jeonju, tapi karena terlalu mengantuk, saya tidak sempat mengedit dan menerbitkannya.)
Tujuh setengah tahun lalu, waktu bertugas di Meksiko, pemimpin sebuah negeri di Timur Tengah, Saddam Hussein terguling. Saya masih ingat, saya dan Panji menonton patungnya ditumbangkan oleh rakyat Irak melalui sebuah saluran TV Meksiko. Dan kini saat saya berada di Korea, Muammar Khadafi ditembak mati.
Oh, ya enggak ada hubungannya sih dengan kepergian saya. Cuma sedang terheran-heran saja.
Dan di Korea Selatan saya kini berada, hingga 3 hari ke depan. Karena tugas, tugas yang saya incar sejak beberapa bulan lalu. Pertama, alasan saya sepele: ingin belanja kosmetik Korea yang murah-murah! Hehehe. Alasan kedua juga sepele: tahun ini belum jalan-jalan keluar negeri, hihihi. Jadi makasih, ya, kantor dan Neng Deedee yang memberi saya kesempatan menambah koleksi visa saya :). Ya, boleh juga, dong saya tahu, seperti apa, sih Korea yang sedang ngehits dengan drama dan K-pop itu? Jadi, I expected nothing.
Expect nothing is the way you don't get disappointed. Saya tiba di Seoul, ibu kota Korsel, Kamis pagi kemarin (20/10). Musim gugur kedua saya setelah tahun 2000 di Meksiko dan (saat transit di) Jepang. I love fall. Dedaunan hijau kekuningan, kuning, merah, merah muda, juga yang masih hijau bersaing menarik perhatian. Dan sesungguhnya, musim gugur membuat Korea begitu menarik. Mengapa? Dua istana yang saya dan 3 rekan wartawan lain kunjungi, Changdeok di Seoul dan Gyeonggi di Jeonju (semoga nama-nama ini benar adanya :)), sekitar 3 jam perjalanan dari Seoul, didominasi warna merah dan hijau - perpaduan warna dedaunan ala musim gugur. Perpaduan yang cantik dan menyegarkan mata yang mengantuk karena hanya bisa tidur 2 jam di pesawat malam dari Jakarta menuju Seoul! Raja-raja Korea di masa lampau berselera bagus :).
Secret Garden

Pemandangan istana dan pepohonan rimbun - apalagi di Secret Garden-nya Changdeok, yang katanya baru terbuka untuk umum 5 tahun lalu, lho! - membuat saya rela berjalan jauh dan pakai acara mendaki-daki segala. Kata teman saya yang wartawan Jakarta Post dan ke mana-mana membawa Tolak Angin, "Kalau aku jalan kayak begini di Indonesia, pasti aku pingsan." Hahaha. Oh ya, perjalanan ini menginspirasi saya untuk terbang ke Paris lagi - kapaaan-kapaaan - di musim gugur.
Yang lebih menarik lagi di Gyeonggi, bahkan beberapa pohon di sekeliling istana pun punya sejarahnya sendiri! Ada pohon yang uniknya tidak tumbuh memanjang ke atas, melainkan seakan membungkuk, yang berusia 700 tahun. Ada pula pohon yang di masa Dinasti Joseon, yang memerintah Korea 600 tahun lebih, yang batang dan sejumlah dahannya polos dan kesat, seolah pohon itu merupakan hasil pahatan. Nah, pohon yang terakhir ini, di masa Joseon, dilarang ditanam di luar istana karena kepolosan dan kekesatannya dianggap vulgar, hehehe. Katanya sih, kalau batangnya digelitik, maka dahan-dahannya akan bergetar pertanda geli. Tapi saya kurang sensitif, kali, yah, dahan-dahannya tidak bereaksi tuh, hehehe. Kalau pohon bambu yang letaknya di samping istana, bagi orang Indonesia pasti biasa saja. Tapi di masa dinasti itu, pepohonan ini tidak boleh sampai terlihat menguning. Batang maupun dedaunannya harus selalu hijau, menandakan kemakmuran kerajaan. Bambu-bambu ini juga berguna sebagai senjata dalam peperangan melawan penjajah - lah sama, dong kayak Indonesia.
Pohon vulgar
Kalau soal-soal kawasan yang dihuni rumah-rumah khas Korea yang dipelihara dengan baik, sumpah memang cute, tapi saya lebih menyukai rumah-rumah kuno di Provins (Prancis) dan rumah-rumah pedesaan di Jerman. Hal lain yang bikin saya takjub, di jalan mana pun, setiap beberapa jengkal, berdiri kafe! Kebanyakan kafe-kafe dengan nama-nama kebarat-baratan yang belum pernah saya (juga Anda) dengar: Tom N Toms, Pascucci, Caffe Bene, Paris Baguette, Angel-in-us, Cre8... semacam itulah. Sebagian kafe besar, sebagian kafe mungil, tapi herannya selalu padat pengunjung. Orang Korea juga memiliki kebiasaan yang sama dengan orang Amerika, mengopi sebelum mulai bekerja. Eh, itu kebiasaan banyak orang, sih, cuma yang saya tahu cukup mencolok adalah di Amerika, di mana orang menggenggam segelas kopi dalam perjalanan menuju kantor (huh, ini mah terpengaruh film-film Hollywood). Pokoknya, di Korea khususnya Seoul, berjalanlah 30 meter saja, niscaya Anda akan menemukan kafe. Di samping hotel ada kafe, di samping minimarket ada kafe, di mana-mana ada kafe. Tapi kok di dekat hotel enggak ada toko Skinfood yaa :'(.


Saturday, July 2, 2011

Paris. J'Adore.

Beberapa orang mengira saya sangat mencintai Prancis. Mungkin karena riwayat saya berkuliah di jurusan sastra Prancis, mungkin karena saya tak bisa berhenti mengoceh tentang Paris.
Akan tetapi mereka salah. Yang saya cintai hanyalah Paris. Ya iyalah, wong saya belum pernah pelesir di wilayah Prancis lain kecuali Provins - kota tua di dekat Paris, saya akan ceritakan besok-besok.
Jadilah Paris banyak mewarnai tulisan saya, dan ocehan saya kepada teman-teman, hehehe.
Jadi, apa lagi tentang Paris?
Kali ini saya mau menulis tentang lokasi wisata favorit saya di Paris. Boleh, ya? Sudah pernah saya singgung beberapa, tapi kali ini kompletnya. Tapi berhubung ini sesuai selera saya, Anda tak akan menemukan museum di dalamnya. Soalnya, saya lebih suka menghabiskan waktu di udara luar Paris. Berikut penjabarannya.

La Tour Eiffel/Menara Eiffel
Ini kayaknya favorit semua orang deh, tapi sungguh, it's just breathtaking!  Saya pertama melihatnya dari balik jendela metro; saya ingat persis, waktu itu 28 April 2005, dalam perjalanan dari Bandara Charles de Gaulle menuju apartemen lama Sandy di kawasan suburban Ermont-Eaubonne. Di tengah cuaca menjelang sore yang agak mendung pun, Eiffel tetap menjulang kokoh dan gagah. Napas saya sampai tertahan sebentar saat itu. Padahal menara paling tersohor di dunia itu hanyalah menara besi yang bahkan warnanya suram. Namun statusnya sebagai simbol Paris - dari atasnya terlihat pemandangan Paris paling menyeluruh, yang membuatnya juga lokasi romantis untuk makan malam bersama pasangan di beberapa restorannya - mendukungnya sebagai landmark yang mengundang banyak orang untuk datang ke Paris. Maka, jadilah begitu besoknya saya berkesempatan mengunjunginya, acara foto-foto berlatar Eiffel dari berbagai sudut dilakukan. Termasuk dari Taman Champ de Mars, dari Trocadero, sampai dari tepi Sungai Seine.
Lucunya (atau anehnya?) saya belum pernah naik ke atas Menara Eiffel. Maklum saya pelancong berbiaya ngepas, sementara untuk naik dikenakan tarif lebih dari 10 euro yang di Jerman bisa dipakai membeli tiket metro harian 2 kali. Sudah begitu Sandy enggak mau ikut naik lagi. Alasannya, "Gue sudah pernah naik 3 kali!" Jadi yaaa... saya memilih melihat pemandangan Paris dari atas di Sacré-Coeur saja - gratis tis tis. Selain itu juga bisa dinikmati dari atas monumen Arc de Triomphe (juga bayar). Tapi kalau Anda berkelebihan sih, naik sajalah. Apalagi kalau naiknya saat hari sudah gelap, waktunya Eiffel menampilkan kerlap-kerlip keemasannya. Siapa tahu sensasi yang Anda tangkap dari Menara Eiffel lebih dahsyat daripada saya.

Sungai Seine dan jembatan-jembatannya
Ya, penting jembatan-jembatan yang melintang di atas Sungai Seine dibahas. Soalnya beberapa dari 37 jembatannya memang istimewa dan saya berterima kasih kepada Sandy yang memperkenalkan kepada 2 jembatan teristimewanya: Pont Neuf dan Pont Alexandre III. Yang pertama merupakan jembatan tertua di Sungai Seine yang berdiri sejak abad ke-17 dan yang kedua adalah jembatan tercantik dengan ornamen lampu-lampu art nouveau (istilah ini juga baru saya ketahui setelah berkonsultasi pada Wikipedia, hihihi) dan patung-patung peri yang konon dipahat oleh seniman berbeda. Dan dari kedua jembatan itu terlihat jelas Menara Eiffel lho!
Eh, terus sungainya bagaimana? Entahlah, berhubung sungai di kota kelahiran saya kondisinya parah - juga di beberapa tempat lain - jadinya saya terobsesi pada sungai-sungai bersih di Eropa, termasuk Sungai Seine. Menurut sebuah acara yang pernah saya saksikan di saluran TV5 Prancis, setiap 2 minggu sekali (kalau enggak salah ye) Sungai Seine dibersihkan. Jadi, saya suka sekali berjalan di tepi Seine, hati rasanya damai. Apalagi kalau menjelang malam turun di pengujung musim semi - mungkin juga di awal musim gugur, saya belum pernah merasakannya - dengan angin sepoi-sepoi mengiringi setiap langkah, sungguh enggak salah Paris dikenal sebagai kota yang romantis. Enggak nyambung, ya? Hahaha. Ya pokoknya begitulah, rasanya Paris saat itu indah banget deh. Maka tepi Sungai Seine juga jadi tempat kongko atau bahkan tempat berjemur di musim panas - saatnya terselenggara "Paris Plages", program yang mengkreasi tepi Sungai Seine bak tepi pantai, lengkap dengan permainan airnya!
Dari kapal-kapal yang mengarungi sungai, bisa pula dilakukan tur keliling Paris kecil-kecilan. Dan secinta-cintanya saya kepada Seine, belum pernah berlayar di atasnya dengan kapal, hehehe, karena sekali lagi, saya antibayar! Di tepi sungai inilah saya pernah menyaksikan seekor anjing nekat menceburkan diri ke dalamnya demi mengejar seekor bebek, hahaha. Pemiliknya, seorang wanita berambut merah, menggeleng-geleng sambil berkata kepada saya dan Sandy, "Anjing ini gila!"

Promenade Plantée
Saya enggak percaya, saya baru tahu tempat ini tahun lalu! Maklumlah, ya saya bukan penggemar film Before Sunset-nya Ethan Hawke, yang antara lain mengambil lokasi syuting di taman  yang menjulang tinggi di atas Paris ini. Lengkapnya coba lihat tulisan sebelumnya, "Setahun Kemarin".

Basilique du Sacré-Coeur
Basilikanya yang putih tampak kemilau apabila langit bersih, berdiri megah di wilayah tertinggi di Paris, Montmartre - di baliknya terbentang kawasan yang disesaki kafe dan seniman lukisan, untuk gampangnya juga disebut Montmartre. Juga menandai titik kedua tertinggi di Paris, setelah Menara Eiffel. Makanya dari pelataran Sacré-Coeur ini kita juga bisa melihat Kota Paris yang juga putih menghampar luas. Eh, hanya bangunan-bangunan di Paris, khususnya bagian atapnya, yang putih yang kadang berkonotasi dingin; hmm, konotasi yang juga lekat dengan sebagian masyarakatnya. Namun mode, parfum, berjenis-jenis makanan, tempat wisata, bunga, sejarah yang kaya, ditambah wisatawan mancanegara membuat Paris sesungguhnya jauh dari kesan dingin.... Apalagi Sacre-Coeur yang fungsinya tidak hanya tempat sakral bagi umat Katolik.

Datanglah ke Sacré-Coeur sore hari, ketika matahari mulai bergeser ke barat. Di lebih dari 100 anak tangganya - jangan cemas, sejak 2006 sudah tersedia lift yang sangat membantu orang seperti saya yang tidak suka acara naik-naik hihihi - beberapa pedagang kaki lima kadang mendadak menggelar barang dagangan seperti tas, ikat pinggang, dll. Lucunya, mereka pasti menyapa wajah-wajah Asia termasuk Sandy - saya, kan rada bule, ya, hahaha - dengan ucapan, "Ni hao!" Yang menarik, anak-anak tangga ini juga dipakai beberapa pemusik jalanan untuk mendemonstrasikan kemampuan bermusik dengan berbagai instrumen. Beberapa sudut Sacré-Coeur juga kadang ditempati seniman yang beraksi sebagai patung, yang baru akan melakukan gerakan seperti pantomim - tergantung tokoh yang mereka bawakan, misalnya bidadari, prajurit, dll - setelah dilempari, biasanya, uang koin 1 euro-an. Meriah, kan, basilika ini?

Parc des Buttes-Chaumont
Yap, saya cinta banget taman-taman di Paris!  Konon berceceran 426 taman di Paris, dalam berbagai ukuran. Dengan jumlah itu, saya belum melihat banyak tapi selalu terkesan dengan yang saya lihat: Jardin de Tuileries yang apik dengan labirin hijaunya, Jardin du Luxembourg dengan deretan rapi pepohonan dan ketersediaan banyak bangku untuk warga melepas lelah, Parc de Bercy dengan kebun anggur dan koleksi mawarnya, dan tentu saja Promenade Plantee, dan sebuah taman di belakang Istana Versailles yang cocok untuk tempat piknik dan mendayung. Belum seberapa, kan yang saya lihat? Nah, entah kenapa dalam 2 kunjungan pertama saya di Paris, Sandy selalu membawa saya ke Parc des Buttes-Chaumont, yang lokasinya sedikit di luar keramaian wisatawan. Yang pertama dalam rangka piknik bareng teman-temannya, yang kedua enggak tahu juga, ya, pokoknya pagi-pagi setelah saya sampai di Paris, saya dibawa ke situlah pokoknya, hahaha. Jadi saya sudah pernah merasakan segarnya taman ini di pagi hari dan keriaannya di sore hari. Dan saya menyukainya!
Taman terluas ketiga di Paris ini bukanlah taman berbunga seperti Promenade Plantee namun memiliki area rerumputan yang longgar untuk piknik, sekadar merebahkan badan, atau berjemur. Pada kesempatan pagi, jalur beraspalnya tidak sedikit digunakan warga untuk joging. Taman dengan gerbang hitam yang setiap harinya buka mulai pukul 07.30 ini sangat ramah pula bagi anak-anak dengan beberapa permainan, seperti komidi putar, bahkan pertunjukan teater khusus untuk anak-anak. Ngomong-ngomong komidi putar, saya ingat 5 tahun lalu melihat salah satunya di kaki Sacre-Coeur. Jadi saya rasa Paris yang historis ini memikirkan kepentingan segala generasi, segala kalangan. Termasuk saya yang suka taman dan antibayar tapi leluasa masuk ke lokasi ini dan itu.
Juga dari bagian tertinggi Buttes-Chaumont ini terhampar pemandangan Paris dari atas - dengan highlight-nya adalah Sacre-Coeur.  Tepatnya dari sebuah kuil kecil berpilar-pilar, menyerupai kuil kuno Romawi, yang bercokol di puncak sebuah pulau mungil di tengah taman. Eh, saya sendiri belum pernah sih naik ke kuil itu; yang saya lakukan hanya berfoto-foto dengan latar kuil berikut pulaunya. Tapi berdasarkan info para wisatawan lain, caranya gampang kok, cukup melalui jembatan yang menghubungkan taman dan pulau.

Kafe
Eh, ini bukan tempat wisata sih. Saya teringat pada gurauan dua teman kuliah saya. Yang satu bertanya, "Ngapain lo mau ke Paris lagi?" Yang mau pergi ke Paris untuk kedua kalinya itu (kalau enggak salah) menjawab, "Mau menumpang ngopi ajalah." Hehehe entah kenapa kami, para mahasiswa sastra Prancis ini, suka banget menengok Paris. Bahkan beberapa menetap di Paris. Probably it's just in our blood....
Akan tetapi, ya saya setuju, mari kita mengopi di Paris! Kafe bahkan juga boulangerie dan patisserie alias toko roti dan toko kue juga berceceran di Paris. Cobalah masuki kafe berteras, kalau memungkinkan duduklah di bangku yang tersedia di terasnya. Baiknya pilih kafe yang berada di sekitar keramaian publik; tidak perlu di pusat keramaian, mendekatinya saja cukup. Sebab menarik lho menonton warga Paris yang multikultural dan wisatawan bercampur-baur, berlalu-lalang. Atmosfer Paris sebagai kota tujuan, idaman banyak orang kental terasa. Apalagi ditambah sembari menyesap secangkir kopi, yang harga standarnya sekarang tak lebih dari 5 euro. Terus terang, saya lebih rela membayar secangkir dua cangkir kopi ketimbang membayar tiket masuk ke tempat wisata, hehehe. Ingat saja, istilah kafe sendiri berasal dari bahasa Prancis café, yang artinya kopi. Jadi, tempat terbaik untuk menikmati kopi adalah di Prancis. Dan nikmatilah kopi di teras, kopi apa saja, tanpa terburu-buru, meski katanya untuk itu ada sedikit tambahan biaya. Kenapa katanya? Soalnya dari dua kali pengalaman mengopi di kafe, saya main duduk saja dan kemudian pramusaji bertanya apa yang ingin saya pesan. Ya, katanya sih sebagaimana di Italia (setidaknya ini benaran yang saya alami di Roma), kopi untuk take away atau untuk diminum sambil berdiri di kafe harganya lebih murah. Jadi, di kafe Prancis dan Italia itu ada yang namanya tarif meja alias tarif untuk duduk - eh ini mestinya saya bahas di bagian "Prancis vs Italia", ya? Tapi jangan cemas, orang atau wisatawan di Prancis tidak keberatan duduk kok, bahkan mau duduk satu atau 2 jam pun, entah sambil mengamati pergerakan orang di jalan atau mengobrol dengan teman, tidak bakal diusir kok. 

Saturday, June 11, 2011

Setahun Kemarin

Setahun kemarin.
Tanggal 9-11 Juni 2010, saya berada di Paris. Menandai kunjungan ketiga saya ke ibu kota Prancis, dan ke apartemen Sandy, hehehe.
Sandy yang baik hati selalu menawarkan kamarnya setiap kali saya datang ke Paris. Paris tak pernah luput dari perjalanan saya di Eropa. Tiga kali ke Eropa, ya tiga kali juga ke Paris. Malah sempat-sempatnya transit sekali, sebelum akhirnya benar-benar menginjakkan kaki di Paris 6 tahun silam. Gimana ya... seperti mungkin pernah saya tulis atau katakan, hati saya sudah kecemplung di Sungai Seine boo....
Saya berangkat ke Paris dari Munich. Perjalanan yang rasanya aneh. Soalnya biasanya di Munich, ke mana saya pergi, biasanya diantar teman saya, Dedes, dan suaminya, Wolfgang. (Tuh, teman-teman saya memang sangat sangat baik hati, kan.) Tapi karena keadaan tidak memungkinkan - Dedes mendadak harus masuk ke rumah sakit - saya menuju Hauptbahnhof alias stasiun besar Munich sendirian. Pagi-pagi bener pulak. Berhubung kereta yang saya naiki bertolak dari Hauptbahnhof jam setengah 7 pagi, jam setengah 6 pagi saya sudah harus berjalan menuju stasiun U-bahn alias kereta bawah tanah Jerman terdekat apartemen Dedes, Dulferstrasse, huhuhu. Perjalanan ke Hauptbahnhof soalnya butuh waktu hampir setengah jam, belum ditambah jalan kaki dari apartemen ke Stasiun Dulferstrasse 10 menitan.
Tapi saya ikhlas jalan pagi-pagi banget begitu. Soalnya saya bakal segera tahu rasanya naik kereta idaman saya bertahun-tahun, TGV alias train à grande vitesse alias kereta tercepat Prancis, hehehe.... TGV ini dulu heboh bener dibahas di buku pegangan kuliah saya di Sastra Prancis, jadinya penasaran berat melanda. Kemarin-kemarin, karena pesan tiket transportasi antarkota dan antarnegara mendadak, saya ogah pesan tiket TGV. Soalnya kalau belinya mendadak, yang diberlakukan tarif standar yang mahaaaalll, di atas 100 euro untuk kelas 2. Nah, tahun lalu itu, karena belinya 3 minggu sebelum keberangkatan ke Paris, masih berlaku potongan tarif dan tiket saya peroleh dengan harga 69 euro. Enggak murah juga sih - paling murah kalau memesan 2 bulan sebelumnya, bisa dapat harga 29 euro! Tapi, ya mendingan bangetlah dibanding di atas 100.
Karena pengalaman naik TGV sekaligus menandai pengalaman pertama saya naik kereta supercepat, di dalam kereta, ya saya rada norak. Saya sangat menikmati sensasi kecepatannya, terutama ketika TGV sudah berada di wilayah Prancis. Biasanya naik bus Eurolines Munich-Paris sekitar 12 jam, dengan TGV 5 jam saja! Padahal, jarak Munich-Paris sebanding dengan Jakarta-Surabaya lho. Selain itu, sempat-sempatnya saya memotret bangku dan gerbong TGV, hahaha. Diam-diam tentu saja, malu hati sama rombongan anak-anak SD di Munich yang mau tur ke Paris.
Motret TGV diem-diem, hehehe.
Perhentian terakhir TGV adalah salah satu stasiun tersibuk Paris yang bernama Gare de l'Est (di tiket, nama yang tercantum adalah Paris Est) atau stasiun timur. Stasiun besar yang saya kenal sebelumnya hanya Gare du Nord atau stasiun utara, jadi ini juga kali pertama saya berurusan dengan Gare de l'Est. Rasanya tak sabar untuk menghirup udara luar Paris, tapi rasanya aneh juga. Soalnya ini juga kali pertama saya tiba di Paris tanpa ada yang menjemput - biasanya Sandy juga hobi mengantar jemput saya. Tapi Mama Sandy yang baru punya bayi lagi ini sudah memberi petunjuk untuk mencapai Stasiun Metro Dugommier, stasiun yang dekat banget dengan apartemennya. 
Sendirian di dalam metro Paris, saya sempat ketakutan saat seorang pria yang membawa seekor anjing Golden Retriever duduk persis di sebelah saya. Mak, eike pan takut sama anjing! Anjingnya sudah jelas berbaring di antara kaki saya dan kaki pria itu. Tapi sumpah saya syok habis waktu pria itu berpaling ke arah saya dan bertanya, "Habis ini stasiun apa, ya?" Ternyata pria itu tuna netra! Pantas saja dia ke mana-mana ditemani si Golden Retriever. Duh, salah banget saya. Karena saking fokus dan ketakutan pada si anjing, saya sampai mengabaikan pria di sebelah saya. Maaf banget banget, Pak. Setelah mengucapkan merci beaucoup terima kasih banyak, pria itu kemudian berdiri, menyeret anjingnya ke arah pintu metro, dan kemudian turun di Gare d'Austerlitz. 

***

Hujan rintik-rintik menyambut kedatangan saya di Stasiun Dugommier. Apartemen Sandy dari stasiun ternyata mudah dicari. Sekitar jam 14.00 waktu Paris, saya menjejakkan kaki di apartemen baru Sandy, hehehe. Ya enggak baru juga sih, baru saya kenal deh. Sampai 2007, Sandy dan suaminya, Julien yang kami panggil Ijul, tinggal di kawasan suburban Paris yang bernama Ermont-Eaubonne. 
Sambil mengemong putra bungsunya yang baru lahir akhir April, Viktor, Sandy bertanya, "Mau jalan-jalan ke mana lagi? Mau ke Eiffel lagi?" Dengan sombongnya saya menjawab, "Jangan dong, bosen. Gue juga bingung San, gue mau lihat apa lagi, ya di sini?" (Plaaak! Tampar si Ika, hahaha.)
Karena cuaca hari itu juga tidak mendukung - mana enak sih jalan-jalan di Paris kehujanan - saya dan Sandy, selain bergosip sambil makan melon dan sepotong quiche lorraine - Sandy tidak pernah lupa kesukaan saya yang satu ini, yang dalam versinya adalah quiche halal, tidak pakai daging babi, hehehe - agenda hari itu hanya mengunjungi toserba-supermarket Monoprix di seberang Stasiun Dugommier. Dan sudut mata saya menangkap logo Yves Rocher di samping Monoprix. Je serai la, I'll be there!

***

Besok pagi dan siangnya, hujan kembali turun. Huft, musim apa sih ini? Untungnya sekitar jam 14.00 giliran matahari menampakkan diri, menyusut hujan. Dan berlangsunglah agenda yang paling saya sukai di kunjungan Paris kali ini. Sandy mengajak saya menyusuri sebuah taman di dekat apartemennya, Promenade Plantee.
Hasilnya... j'adore Promenade Plantee, trop! Promenade Plantee adalah taman berbunga yang menjulang di atas Paris. Bayangkan saja jalan layang dengan kedua sisinya dirambati aneka bunga, nah seperti itulah Promenade Plantee. Jalur berbunga ini di beberapa bagiannya berfasilitaskan bangku, buat sekadar duduk, mengobrol, atau menikmati udara segar. Mengapa wujudnya agak mirip jalan layang, sebabnya taman sepanjang 4,5 km yang mengarah ke Bastille ini dulunya jalur kereta barang. Jalur yang terabaikan ini di awal abad ke-19 mulai menjelma sebagai taman berbunga, dengan bagian bawahnya yang tidak kalah cantik berupa Viaduc des Arts atau deretan toko yang memajang barang seni kontemporer. Begitu cantiknya Promenade Plantee sampai diabadikan dalam film Before Sunset-nya Ethan Hawke dan Julie Delpy, lho.
Promenade Plantée yang menawan!

Viaduc des Arts, penyangga Promenade Plantée yang menjulang di atas Paris.

Sampai di Bastille, saya dan Sandy kembali ke apartemen melalui tepi Sungai Seine. Eh, lagi ada demo imigran di Bastille, sepertinya imigran asal Afrika. Saya ingat salah satu spanduk mereka berbunyi, "Kami butuh makan." Bastille katanya sih sering jadi lokasi demo, mengingat sejarahnya sebagai simbol pembebasan Prancis dari rezim monarki pada 1789. 
Sorenya, duh, hujan lagi! Hujan sungguh tidak lazim mewarnai peralihan musim semi ke musim panas. Tapi tahun lalu itu, cuaca memang kacau. Bukan hanya hujan, suhu belasan derajat masih menyambangi Paris, Munich, dan kota-kota di Italia. Padahal 5 tahun lalu, awal apalagi pertengahan Juni itu cuaca sudah mulai panas - kecuali di kota-kota yang dekat dengan Pegunungan Alpen barangkali, ya, seperti Vaduz, ibu kota Liechtenstein. 
Akan tetapi, hujan, ya biarlah ya. Saya mesti menuntaskan janjian dengan Rita, seorang teman kuliah saya yang bekerja di Paris. Sandy mengantar saya menemui Rita di Bercy Village - sembari nyempet-nyempetin juga melongok Yves Rocher, hehehe. Bercy Village adalah tempat kongko yang unik, yang menyerupai area pedesaan di Perancis dengan jalan berbatu-batu dan toko serta kafe mungil di kanan-kirinya. Unik karena di tengah jalannya masih tampak jelas bekas jalur rel! Setelah menyelidik lebih lanjut di Internet, ternyata Bercy Village ini dulunya gudang anggur. Dan rel itu adalah jalur transportasi pengangkut anggur.
Saya pun makin kagum dengan pemerintah Paris, Prancis, siapa pun itu, yang mengubah sesuatu yang dianggap tak berguna, seperti bekas gudang anggur ini, menjadi kawasan yang cantik dan menarik bagi wisawatan. Dan kawasan Bercy bukan hanya punya Bercy Village yang komersial, tapi juga Parc de Bercy atau Taman Bercy seluas 14 hektar juga dengan koleksi bunga dan anggur - menghormati riwayat Bercy dengan gudang anggurnya - tempat orang bersantai tanpa dipungut bayaran. Salah satu bagian Parc de Bercy adalah Jardin de Yitzhak Rabin atau Kebun Yitzhak Rabin, yang didedikasikan bagi PM Israel yang terbunuh pada 1995, Yitzhak Rabin - setahu saya dia PM Israel yang gencar mendamaikan negerinya dengan Palestina. Di taman ini ditanam berbagai varietas mawar.
Selesai dengan kawasan Bercy, saya ikut Rita makan malam di kawasan Place d'Italie, sementara Sandy kembali ke apartemen. Sebelum itu, saya kira Place d'Italie, mengacu pada namanya, adalah wilayahnya orang-orang Italia. Eh, salah lagi. Justru di dekat alun-alunnya itulah ngampar berbagai restoran Asia, hehehe. Salah satu restoran Vietnam di dekat alun-alun jadi favorit teman-teman saya di Paris. Oh iya, teman saya yang berdomisili di Paris bukan cuma Rita dan Sandy lho. Ada Ami, Dwi, Minnie, Yeri, Yanthie, kalau mau ditambah masih ada Azizah di Marseilles, kota di selatan Prancis. Sayangnya waktu itu tidak mungkin menemui semua. Ami sedang pelesir ke Den Haag, Belanda; Minnie sibuk kerja; Yeri menemui pacarnya di Inggris; lha Yanthie malah sedang ada di Indonesia. Sebenarnya saya dan Sandy mengagendakan menemui Dwi di tokonya tapi lupaaa, payah.
Di restoran Vietnam itu, menu yang saya dan Rita pesan adalah... mi ayam! Hahaha. Pengin tahu saja seperti apa sih wujud mi ayam ala Prancis. Oh, minya sama saja dengan yang kita kenal, cuma seperti tenggelam dalam kuahnya. Tapi kami tak bisa berlama-lama di restoran yang tak seberapa besar itu, karena antreannya lumayan panjang. Kasihan, soalnya orang-orang itu menunggunya di luar restoran, sementara cuaca menjelang malam mulai dingin.

***
Hari terakhir di Paris.
Saya pengiiin banget makan crepe. Terkesan banget sama crepe marron atau crepe isi kacang merah khas Prancis yang saya beli di pinggir jalan 4 tahun silam. Tapi kata Sandy, di dekat apartemennya enggak ada crepe enak. Jadinya kami makan siang dengan paella, semacam nasi goreng ala Spanyol dengan campuran aneka seafood, yang dijual di pasar kaget di dekat apartemen Sandy. Tapi paella-nya kurang enak. Ya sudahlah.
Pasar kaget di Paris bisa dibilang pasar murah. (Eh enggak cuma di Paris, tapi juga di Eropa umumnya.) Pasarnya tidak buka setiap hari, dan memang barang-barang yang dipasarkan di situ terbilang murah. Saya sempat-sempatnya membeli kaus kaki 2 euro dapat 3 pasang, hihihi. Juga pashmina dan syal satuannya dengan harga yang sama! Di situ saya juga jajan churros, camilan manis ala Spanyol, 1 euro dapat 3 batang. Lha sebenarnya ini pasar murah di mana sih, kok jajanannya ala Spanyol yah, hehehe.
Menjelang sore, Sandy memperkenalkan saya kepada butik murah Marc by Marc Jacobs (lihat artikel "Marc Jacobs 10€"). Menambah kaya wawasan belanja di Paris, hehehe. Gara-gara kelewat terpukau dengan butik murah itulah saya lupa menengok toko Dwi, maapken yah. Yang bikin saya terharu, Sandy rupanya tidak lupa saya "meraung-raung" minta crepe. Kembali ke apartemen, Ijul yang jago masak rupanya telah menyiapkan bahan-bahan untuk membuat crepe. Dia menyajikan makan malam berupa crepe cokelat-keju dan daging, dan memaksa saya melahap 4 potong! Hahaha. Saya hanya sanggup menghabiskan 3 (ya iyalah segitu aja sudah lebay). Crepe buatan Ijul beneran enak! Makanya begitu mendengar ada sebuah kafe di sebuah mal elite di Jakarta yang menyajikan crepe (katanya) enak seharga 50 ribuan, saya dengan tegas menolak mencicipinya. Iciihh... enakan crepe buatan asli Prancis, gratis!
Hari semakin gelap. Waktunya mengucapkan salam perpisahan kepada keluarga Sandy, dan kepada Paris. Sendirian saya kembali mengarungi jalur metro bawah tanah, kali ini bukan ke Gare de l'Est, melainkan Gallieni, pos bus antarnegara Eropa, Eurolines. Jam 21.30, saya keluar dari apartemen Sandy yang hangat, untuk menyongsong bus Eurolines tujuan Eindhoven yang akan berangkat 1,5 jam setelahnya, seraya berucap janji akan kembali dalam hati. Semoga.